Harga Sembako Terus Melonjak Di Kota Dumai
https://dumaibisnisonline.blogspot.com/2016/09/harga-sembako-terus-melonjak-di-kota.html

Gejolak
harga pangan merupakan hal rutin yang terjadi di Indonesia. Meski
demikian, sejak awal 2015 hingga awal 2016 ini peningkatan harga pangan
yang terjadi tergolong tinggi justru di tengah inflasi yang cukup rendah
(3,35 persen) serta merosotnya harga-harga komoditas di dunia termasuk
komoditas pangan.
Rata-rata harga beras medium nasional tercatat naik 13,2
persen atau hampir empat kali inflasi, telur ayam ras 9,5 persen, daging
sapi 6,1 persen, dan ayam pedaging 3,0 persen. Rata-rata kenaikan harga
pangan justru lebih tinggi dibandingkan tahun 2014 di mana inflasi
tercatat sebesar 8,36 persen.
Kenaikan harga pangan ternyata tidak diikuti oleh
peningkatan kesejahteraan petani kecil. Dalam enam bulan awal
pemerintahan tercatat 570.000 petani jatuh miskin. Harga gabah di
tingkat usaha tani di musim panen Februari-Maret 2015 di banyak tempat
tercatat hanya Rp 3.100 hingga Rp 3.300, jauh lebih rendah dibandingkan
harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen sebesar Rp
3.700 per kilogram.
Kejadian tersebut berulang pada musim panen tahun ini.
Meskipun panen baru sedikit dan sporadis di berbagai tempat, dari
laporan jaringan Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia di
hari-hari ini harga gabah di tingkat petani sudah terjerembab ke angka
Rp 2.900-Rp 3.700 per kg dengan rata-rata di sekitar Rp 3.400 per kg di
banyak tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sangat ironis karena harga
beras medium rata-rata nasional justru meningkat menjadi Rp 10.933 per
kg (7/3) yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata Februari 2016 (Rp
10.801 per kg), Januari 2016 (Rp 10.799 per kg), dan Desember 2015 (Rp
10.744).
Harga sempat tertekan sedikit ketika ada pengumuman
seremonial panen raya (28/2), tetapi sehari setelahnya (29/2) harga
sudah naik kembali bahkan melebihi sebelumnya. Pada tingkat harga beras
tersebut seharusnya harga gabah di tingkat usaha tani masih berada di
sekitar angka Rp 4.500 sampai Rp 5.000 per kg. Gejolak harga tidak hanya
terjadi di beras, tetapi juga jagung, daging sapi, daging ayam, dan
telur. Untuk bawang merah dan cabai karena sifatnya yang musiman dan
tidak tahan penyimpanan gejolak harga yang terjadi lebih dahsyat.
Melihat kecenderungan seperti itu banyak pihak berkesimpulan bahwa
mafia, spekulan, dan kartel pangan bermain di belakang layar.
Gerakan harga pangan berdasarkan berbagai literatur yang ada disebabkan beberapa faktor utama, yaitu
(1) nisbah stok dibandingkan konsumsi pangan,
(2) harga minyak bumi,
(3) nilai tukar mata uang,
(4) tingkat suku bunga,
(5) iklim yang tidak menguntungkan,
(6) kebijakan fiskal dan moneter,
(7) peningkatan pendapatan dan populasi kelas menengah yang meningkatkan kebutuhan daging,
(8) konversi pangan untuk energi (biofuel) di negara-negara maju, serta
(9) spekulasi finansial di pasar komoditas.
(1) nisbah stok dibandingkan konsumsi pangan,
(2) harga minyak bumi,
(3) nilai tukar mata uang,
(4) tingkat suku bunga,
(5) iklim yang tidak menguntungkan,
(6) kebijakan fiskal dan moneter,
(7) peningkatan pendapatan dan populasi kelas menengah yang meningkatkan kebutuhan daging,
(8) konversi pangan untuk energi (biofuel) di negara-negara maju, serta
(9) spekulasi finansial di pasar komoditas.
Nisbah stok/konsumsi, harga minyak bumi serta nilai tukar
mata uang merupakan penyebab utama yang membentuk harga pangan (Baffes
dan Dennis, 2013). Nisbah stok/konsumsi dibentuk oleh tingkat produksi
pangan, konversi komoditas pangan menjadi bahan bakar nabati, serta
pendapatan masyarakat.
Permainan kartel
Di dalam terminologi pembentukan harga pangan dikenal
istilah spekulasi finansial. M Lagi dan kawan-kawan (New England Complex
System Institute, 2011) menyimpulkan bahwa spekulasi finansial
merupakan penyebab utama krisis pangan dunia tahun 2007/2008 dan
2010/2012. Meski demikian, hal tersebut dibantah oleh Paul Krugman,
pemenang Nobel Ekonomi, yang menyimpulkan bahwa spekulan pangan tidak
memiliki pengaruh terhadap pembentukan harga karena investor dalam
future market tidak memegang barang.
Spekulasi finansial berbeda dengan kartel. Kartel adalah struktur pasar
yang terbentuk akibat perilaku oligopoli kolusif. Oligolopi kolusif
adalah model pasar oligopolistik di mana beberapa pelaku usaha
memproduksi produk atau jasa yang sama atau mirip dan melakukan monopoli
di pasar. Perjanjian dibuat di antara perusahaan-perusahaan oligopoli
yang menguasai bagian terbesar pasar. Perjanjian dalam bentuk kerja sama
dan aksi bersama tersebut kemudian memunculkan struktur pasar yang
disebut sebagai kartel.
Perjanjian kartel meliputi harga produksi yang sama dan
bersifat monopolistik, kuantitas produksi, dan pembagian teritorial
pasar (Severova dan Bendl, 2013). Kartel cederung untuk menaikkan harga
atau membatasi kuantitas produksi untuk memaksimalkan keuntungan.
Dengan demikian, fenomena kartel pangan tampaknya sulit
digunakan sebagai pisau analisis untuk membedah gejolak harga pangan di
Indonesia, meskipun saat ini kartel yang terdiri atas 12 perusahaan
sedang disidik intensif karena diduga melakukan pengaturan stok ayam
(Kompas, 6/2).
Di komoditas beras, penggilingan padi merupakan rantai
penting di dalam pembentukan harga beras. Jumlah total penggilingan padi
sebanyak 182.184 yang sebagian besar merupakan penggilingan padi skala
kecil dengan kapasitas kurang dari 3 ton per jam. Penggilingan besar
berjumlah 2.075 perusahaan (Bulog, 2016). Dengan jumlah perusahaan yang
sedemikian banyak, kemungkinan terbentuknya kartel di beras juga sulit
terjadi.
Data produksi
Bila demikian apa yang menentukan harga pangan? Nisbah
stok/konsumsi tampaknya merupakan faktor pembentuk harga yang dominan di
pasar tidak hanya untuk beras, tetapi juga komoditas pangan lainnya.
Nisbah stok/konsumsi terutama disusun oleh produksi pangan domestik dan
impor.
Sangat disayangkan, bila pisau analisis tersebut digunakan
untuk memahami pergerakan harga pangan di Indonesia, akan dihasilkan
data yang ambigu. Berdasarkan angka sementara yang dirilis Badan Pusat
Statistik (BPS) produksi gabah kering giling mencapai 75,36 juta ton
atau meningkat 6,37 persen. Setelah dikurangi dengan penggunaan gabah
sebanyak 2 persen, dan kehilangan gabah sebanyak 5 persen, akan
dihasilkan produksi neto setara beras sebesar 44,045 juta ton. Ditambah
dengan impor sebesar 0,862 juta ton dan stok awal tahun sebesar 5,501
juta ton, maka total ketersediaan beras tahun 2015 sebanyak 50,408 juta
ton. Dengan menggunakan angka ketersediaan beras untuk konsumsi sebesar
124,89 kg/kapita/tahun (Kementerian Pertanian), penggunaan beras untuk
keperluan lain sebanyak 0,9 persen dan kehilangan beras sebanyak 2,5
persen, maka akan menghasilkan surplus 16,8 juta ton beras pada 2015
yang menjadi stok awal 2016.
Dengan penambahan stok yang luar biasa besar tersebut, maka
dengan menggunakan formula nisbah stok/konsumsi harga beras awal 2016
akan turun sebesar 60 persen dibandingkan harga beras di awal 2015 atau
hanya Rp 3.858 per kg beras medium.
Dengan menggunakan ”teori kartel” sangat sulit dipahami di
mana beras yang jumlahnya 16,8 juta ton tersebut berada. Apabila beras
tersebut benar ada di tangan penggilingan ataupun pedagang, mereka akan
mengalami kerugian sangat besar karena stok tersebut tidak akan pernah
bisa dilepas ke pasar karena harga beras akan terjun bebas apalagi
sebentar lagi panen raya. Di sisi lainnya, bila tren produksi masih
berlanjut, maka dalam lima tahun Indonesia akan surplus beras sebesar 52
juta ton, jumlah yang sama sekali tidak masuk akal.
Dengan demikian, terdapat masalah besar terkait dengan data
produksi pangan yang juga sering diulas di harian ini. Akibat kesalahan
data tersebut, semua pisau analisis untuk memahami pergerakan harga
pangan di Indonesia menjadi tumpul yang sekaligus mengacaukan tata
kelola pangan di Indonesia.
Perilaku kartel, bila itu terbukti, memang harus ditindak
tegas karena merugikan baik produsen maupun konsumen dan mengacaukan
sistem pangan di Indonesia. Pemerintah saat ini dituntut fokus untuk
melindungi produsen pangan terutama petani kecil melalui perlindungan
harga di tingkat usaha tani. HPP gabah di tingkat usaha tani harus
dinaikkan, karena HPP saat ini hanya meningkat 10-12 persen sejak 2012
sedangkan inflasi sudah meningkat 25 persen.
Perlindungan harga di tingkat konsumen dapat dicapai
melalui kebijakan stabilisasi harga yang bisa ditempuh melalui dua
kebijakan utama, yaitu meningkatkan stok pangan pemerintah dan kebijakan
perdagangan internasional yang berlandaskan data akurat. Selain itu,
upaya untuk membentuk saling percaya (trust) antarpelaku usaha swasta
dan pemerintah yang saat ini berada pada titik nadir perlu dibangun
kembali. Melalui berbagai upaya tersebut diharapkan gejolak pangan 2015
hanya menjadi sebuah kenangan dan pembelajaran penting untuk mengelola
pangan di masa datang.
Dwi Andreas Santosa, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB;
Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI),
Dewan Penasehat Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia
( PETANI).
(Sahat)
( PETANI).
(Sahat)


Posting Komentar