Undang-undang ITE & Masyarakat Demokratis
https://dumaibisnisonline.blogspot.com/2016/12/undang-undang-ite-masyarakat-demokratis.html

EraRiau.com {Jakarta}- H. Sukamta, PhD
Anggota Komisi I DPR RI, Sekretaris Fraksi PKS
DALAM bukunya The Third Wave, Alvin Toffler mengategorikan era sekarang sebagai era informasi setelah era pertanian dan era industri. Pandangan the third wave yang ia kemukakan sekitar 3 dekade lalu itu hingga kini masih relevan, terlebih untuk kasus Indonesia.
Tercatat hingga tahun 2016 ini, menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), ada sekitar 132 juta pengguna internet dari total 256 juta penduduk, baik melalui komputer maupun gadget. Maka dapat kita katakan bahwa Indonesia telah mulai memasuki era informasi ini, meskipun sekitar 80% sebaran penggunaan internet masih terpusat di pulau Jawa.
Pada era demokrasi seperti sekarang ini, data ini tentunya menjadi sesuatu hal yang menggembirakan sekaligus berpotensi mengkhawatirkan. Kegembiraannya adalah bahwa masyarakat dapat lebih terlibat aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
David Held dalam “The Models of Democracy” mengemukakan teori model demokrasi deliberatif, yaitu salah satu model demokrasi kekinian yang melibatkan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik dalam urusan negara maupun masyarakat secara umum. Maka seharusnya masyarakat yang aktif dan peduli dalam menyampaikan pendapatnya tentang urusan negara atau urusan yang menyangkut kehidupan masyarakat menjadi nilai positif, tetapi tetap dalam kerangka kebebasan yang bertanggung jawab.
Sedangkan kekhawatirannya adalah potensi munculnya informasi-informasi yang tidak sehat baik itu pencemaran nama baik, menistakan Pancasila, agama, budaya, memecah belah keutuhan dan kedaulatan NKRI, menyemai rasa ketidaknyamanan dan ketidakamanan di masyarakat, dan seterusnya.
Indonesia adalah negara yang berbudaya. Harusnya ini menjadi modal untuk membentengi bangsa dari upaya-upaya yang menggerogoti kedaulatan dan persatuan. Yang dikhawatirkan gambaran akibat buruknya adalah masyarakat hidup dalam dunia yang penuh dengan caci maki dan informasi sesat serta tidak sehat di jagat maya. Alih-alih masyarakat terbentuk oleh informasi yang sehat, malah tercekoki oleh sampah informasi. Sehingga untuk mengeliminasi potensi kekhawatiran tersebut, kebebasan ini perlu diatur.
Untuk mengatur itu semua, pada tahun 2008, disahkanlah sebuah undang-undang yang bernama Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transkasi Elektronik (UU ITE). Ini sekaligus menjadi terobosan sebagai undang-undang pertama yang mengatur soal dunia maya. Saat itu, latar belakang dibuatnya undang-undang ini untuk melindungi masyarakat dalam bertransaksi di dunia internet (e-commerce). Namun, yang kemudian dirasa kental dalam pengimplementasiannya justeru menyangkut pencemaran nama baik, alih-alih e-commerce itu sendiri, sesuatu yang sebetulnya sudah diatur dalam KUHP.
Banyak masyarakat pengguna internet (netizen) yang seolah menjadi ‘korban’ penerapan UU ITE pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik ini. Hak kebebasan masyarakat dalam mengekspresikan pendapatnya di publik seolah terkekang. Maka kasus-kasus seperti Prita Mulyasari pun bermunculan. Juga termasuk kasus-kasus pengritik kebijakan pemerintah yang kemudian dianggap melakukan pencemaran nama baik, dan ditahan. Padahal menyampaikan pendapat merupakan salah satu hak warga negara dalam negara demokrasi.
Dengan latar belakang seperti disebutkan di atas, juga dengan kemajuan dunia ITE yang semakin progresif, maka muncullah reaksi publik untuk merevisi UU ITE ini yang kemudian mendorong pemerintah mengajukan usul revisi UU ITE ini kepada DPR. Kami di DPR tentunya menyambut baik aspirasi ini demi kemajuan masyarakat dan bangsa pada masa yang akan datang. Lalu revisi UU ITE digodok di Komisi I DPR RI bersama pemerintah yang kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu. Dan mulai diundangkan sejak tanggal 28 November 2016.
{Sindonews}
Posting Komentar